Selasa, 29 November 2011

koalisi nasional PWYP meminta KLH membatalkan peringkat hijau yang diberikan kepada industri perusak lingkungan

PROTES TERHADAP PROPER 2011

PROPER (Program for Pollution Control, Evaluation and Rating) atau Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan kegiatan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak tahun 2002. Peringkat kinerja penaatan perusahaan ini dikelompokkan dengan kategori emas, hijau,  biru,  merah, dan hitam sebagai peringkat kinerja terburuk.  PROPER bertujuan untuk mendorong peningkatan  kinerja  perusahaan dalam  pengelolaan  lingkungan  melalui  penyebaran  informasi  kinerja  penaatan  perusahaan  dalam pengelolaan lingkungan guna mencapai peningkatan kualitas  lingkungan hidup1
Dalam rangka PROPER periode 2011, Kementerian Lingkungan Hidup mengadakan konsultasi publik secara terbatas pada awal November 2011. Dalam forum tersebut, KLH mendistribusikan list daftar sejumlah perusahaan calon penerima peringkat kategori Hijau, diantaranya adalah perusahaan industri ekstraktif yakni: PT. Newmont Nusa Tenggara dan PT Kideco Jaya Agung.
Setelah kurang lebih satu dasawarsa pelaksanaan PROPER, kami beranggapan bahwa PROPER belum secara penuh mendorong peningkatan kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, belum memberikan akses informasi secara luas kepada masyarakat terkena dampak dan masyarakat umum, dan belum mendorong terciptanya peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Dengan ini kami mengajukan keberatan dan desakan kepada Pemerintah Indonesia mengenai pelaksanaan PROPER sebagai berikut:
1. Keberatan terhadap beberapa perusahaan calon penerima peringkat kategori hijau
a. PT Newmont Nusa Tenggara, saat ini berada dalam proses sengketa hukum Lingkungan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait dengan pembuangan limbah tailing ke laut2. Selain itu, Newmont juga melakukan praktek pembuangan limbah tailing ke laut3. Berdasarkan Extractive Industry Review yang diinisiasi oleh World Bank di tahun 2000 dan menjadi referensi internasional dalam pengelolaan pertambangan yang baik, pembuangan tailing ke laut seharusnya tidak boleh dilakukan hingga dilakukannya riset yang seimbang dan tidak bias, akuntabel pada pemangku kebutuhan dan terbukti keamanannya4. Hingga saat ini belum ada konsensus dan bukti ilmiah yang kuat akan keamanan dan keselamatan praktek pembuangan limbah tailing ke laut. Sementara itu, penolakan pembuangan tailing ke laut di tingkat internasional menguat dengan terjadinya masalah lingkungan di beberapa negara seperti: Misima Mine di Papua Nugini, Newmont Minahasa Raya di Indonesia, Atlas Copper Mine di Filipina dan lain-lain.
Berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang telah diadopsi oleh Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, ketiadaan alat bukti ilmiah seharusnya tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek pembuangan limbah tailing ke laut. Selain itu PT Newmont Nusa Tenggara juga melakukan standar ganda dalam operasinya di Indonesia. Berdasarkan Clean Water Act Amerika Serikat, praktek pembuangan tailing di laut tidak mungkin dilakukan karena adanya standar yang ketat dalam perlindungan biota air5. Akan tetapi hal tersebut dilakukan di Indonesia karena ketiadaan standar yang kuat dan ketat.
b. PT Kideco Jaya Agung. Operasi kapal tongkang PT Kideco mendapatkan keluhan dari masyarakat dengan adanya penggusuran tanah tumbuh petani di sekitar PT Kideco Jaya Agung Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser6 dan keluhan rengge7 masyarakat nelayan Desa Air Mati yang hancur ditabrak dan tumpahan batubara dari tongkang mencemari desa8.
2. Keberatan terhadap proses pelaksanaan PROPER yang tidak Transparan
Program PROPER bertujuan untuk mendorong peningkatan  kinerja  perusahaan dalam  pengelolaan  lingkungan  melalui  penyebaran  informasi  kinerja  penaatan  perusahaan  dalam pengelolaan lingkunganm guna mencapai peningkatan kualitas  lingkungan hidup9. Kami berpendapat bahwa orientasi PROPER saat ini tidak untuk menyebarkan informasi sebanyak-banyaknya kepada masyarakat yang paling rentan terkena dampak dari kegiatan industri ekstraktif. Masyarakat tidak tahu menahu mengenai bahan kimia yang dilepas ke lingkungan dan dapat membahayakan keselamatan lingkungan dan manusia, serta bagaimana mengatasinya. Masyarakat dan organisasi non pemerintah hanya mendapat akses laporan hasil PROPER dan tidak mendapat akses terhadap dokumen pendukung keputusan setelah peringkat PROPER diumumkan.
Selain itu, tidak ada prosedur yang jelas mengenai partisipasi masyarakat dalam penentuan PROPER. Pada pelaksanaan PROPER 2011, masyarakat tidak mendapatkan informasi terhadap calon perusahaan yang mendapat peringkat biru. Padahal ini sangat berguna untuk mencegah adanya perusahaan yang dinilai baik akan tetapi di tingkat lapangan terdapat masalah dengan lingkungan dan masyarakat. Penilaian PROPER seharusnya sangat selektif dan hati-hati, tidak “obral” peringkat hijau dan biru. Peningkatan kualitas ingkungan hidup tidak akan terjadi apabila akses informasi dan partispasi yang luas dan mutlak tidak diberikan kepada masyarakat.
3. Keberatan terhadap pelaksanaan PROPER yang dilakukan dengan mendasarkan pada kerangka regulasi yang lemah
PROPER ditujukan untuk meningkatkan kinerja penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Akan tetapi penilaian ini didasarkan pada kerangka regulasi nasional yang lemah. Indonesia tidak memiliki standar baku mutu pencemaran sedimen laut dan sungai yang berguna untuk mengontrol salah satu aspek pencemaran dari kegiatan pertambangan, standar untuk mengontrol emisi PAH (Polycyclic aromatic hydrocarbons) yang di lepaskan ke udara dari kegiatan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh perusahaan ekstraktif. Indonesia juga tidak memiliki Pollutant Release Transfer Registers (PRTRs) yang mewajibkan perusahaan untuk membuka informasi mengenai bahan kimia yang dilepaskan ke lingkungan dari operasinya. PROPER tidak menjadikan rekomendasi bagi para penentu kebijakan untuk mengkaji ulang, memperbaiki dan memperketat regulasi dan standar lingkungan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha. Berkaca dari hasil PROPER sebelumnya, tidaklah mengherankan apabila beberapa perusahaan yang mendapatkan kategori hijau dan biru ternyata dinilai tidak layak oleh masyarakat serta terdapat masalah dalam pengelolaan limbahnya yang diakibatkan ketiadaan standard. Penilaian PROPER seharusnya mulai mempertimbangkan penerapan praktek-praktek terbaik internasional dan standard internasional khususnya bagi perusahaan internasional.
4. Perlunya review terhadap sistem dan pelaksanaan PROPER
Kami memandang bahwa selama satu dasawarsa ini, PROPER hanya menjadi kegiatan business as usual. Kami mendesak perlunya kaji ulang yang serius terhadap sistem dan pelaksanaan PROPER dengan mempertimbangkan acuan, penguatan dan pembuatan standard lingkungan, transparansi dalam proses pelaksanaan dan penilaiannya, akses informasi dan partisipasi publik yang luas. Kami juga mendesak agar PROPER dapat menjadi dasar bagi proses penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak taat.

Atas pertimbangan hal tersebut di atas, kami mendesak:
1. Penundaan penilaian dan pengumuman PROPER 2011;
2. Pembatalan peringkat hijau bagi perusahaan tersebut di atas;
3. Perbaikan indikator penilaian dan kinerja PROPER secara partisipatif yang meliputi:
a. Adanya mekanisme yang jelas bagi partisipasi masyarakat;
b. Konsultasi publik atas kinerja peserta PROPER;
c. Pemberian akses informasi terhadap dokumen pendukung PROPER setelah PROPER selesai diumumkan;
d. Perbaikan dan peninjauan standar lingkungan, seperti penetapan peraturan mengenai baku mutu sedimen laut dan air, pengundangan PRTRs, dan perbaikan pengelolaan lingkungan di tingkat perusahaan;
e. Proses penegakan hukum yang jelas sebagai tindak lanjut PROPER;


Jakarta, 29 November 2011

1. Indonesian Center for Environmental Law
2. Indonesia Corruption Watch (ICW)
3. Transparancy International Indonesia
4. Pusat Telaah dan Informasi regional (PATTIRO)
5. Institute for Essential Services Reform (IESR)
6. Seknas FITRA
7. Indoneia Parliamantary Center (IPC)
8. Pattiro Institute
9. Gerakan Anti Korupsi Aceh (GeRAK Aceh)
10. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
11. GeRAK Aceh Besar
12. PASKASS
13. Yayasan Puspa Indonesia
14. Akar Bengkulu
15. Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)
16. Lembaga Pemberdayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD)
17. FITRA Riau
18. Walhi Riau
19. BIGS (Bandung Institute of Governance Studies)
20. INFEST Garut
21. West Java Corruption Watch (WJCW)
22. PATTIRO Serang
23. Perkumpulan IDEA
24. Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW)
25. Bojonegoro Institute
26. Gresik Institute
27. Public Crisis Center (PCC) Tuban
28. Gerakan Peduli Rakyat Sampang (GPRS)
29. Pokja 30
30. PADI Balikpapan
31. POSITIF Kalimantan
32. WALHI Kalsel
33. FOKER LSM Tanah Papua
34. KIPRA
35. Jaringan Advokasi Sosial dan Lingkungan (JASOIL)
36. PERDU Manokwari
37. Lembaga Studi & Bantuan Hukum (LSBH) Nusa Tenggara Barat
38. SOMASI
39. YPSHK (Yayasan Pengembangan Studi Hukum dan Kebijakan)
40. LEPMIL (Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman)
41. JATAM

Kontak Person:
1. Henri Subagiyo, Indonesian Center for Environmental Law
Kontak: 081585741001
2. Ridaya LaOdengkowe, Koordinator Koalisi Publish What You Pay Indonesia
Kontak: 08128037964
3. Beggy, JATAM
Kontak: 085269135520