Kamis, 10 Februari 2011

NGAJI KEBIJAKAN CSR PROPINSI JAWA TIMUR

 

Sejarah Umum dan Kebijakan CSR di Indonesia



Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Walaupun sudah lama prinsip prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan social (39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan). Survei ini juga mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri. Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas.
Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat. Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (pasal 34 ayat (1) UU PM). Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal.

Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundnag polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ? Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR dalam perspektif kewajiban hukum.
Sejak dikeluarkan Undang-undang tentang Perseroan Terbatas Nomor : 40 tahun  2007 pada Bab V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu mengatur kewajiban perusahaan untuk memprogramkan dan melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan atau lebih dikenal Corporate Social Responsibility (CSR). Undang-undang tersebut diutamakan pada perusahaan yang kegiatan usahanya dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR.
Walaupun demikian seharusnya kebutuhan untuk melakukan CSR tanpa diatur dalam peraturan perundang-undangpun, perusahaan/korporasi secara voluntary melakukan CSR dan menjadi bagian operasional perusahaan untuk menjamin kelangsungan usaha perusahaan tersebut, serta yang melakukan CSR tidak terbatas pada korporasi yang menjalankan usaha dalam bidang sumber daya alam, misalnya usaha pertambangan. Kegiatan CSR sebagai bagian dari operasional perusahaan seharusnya diprogramkan dan dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) pada setiap tahunnya untuk mendapatkan persetujuan para shareholders. Kewajiban menjalankan CSR juga menjadi bagian penting dalam menjalankan apa yang disebut “Corporate Governance” (tata kelola perusahaan yang baik).
Komite Cadbury mendefinisikan CG, adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada shareholders. Definisi ini berkaitan dengan peraturan kewenangan Pemegang Saham, Direktur, Manajer dan sebagainya. OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) mendefinisikan CG adalah sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. CG juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. CG yang baik dapat memberikan rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan, dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif, sehingga mendorong perusahaan menggunakan sumber daya dengan lebih efisien.  Kepmen BUMN 117/2002, mendefinisikan CG adalah suatu proses struktur yang digunakan oleh Organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CG merupakan prisip pengelolaan perusahaan yang bertujuan untuk mendorong kinerja perusahaan serta memberikan nilai ekonomis bagi pemegang saham maupun masyarakat secara umum. Prinsip GCG diperlukan sebagai upaya untuk meraih kembali kepercayaan investor dan kreditor memenuhi tuntutan global, meminimalkan cost of capital (COC), meningkatkan nilai pemegang saham perusahaan serta mengangkat citra perusahaan. Prinsip GCG (Komite Nasional Governance, 2006), yaitu : Tranparancy, Accountability, Responsibility, dan Independecy serta Fairness.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan CSR atau tanggungjawab sosial perusahaan, Komite Nasional Governance telah menyusun panduan prinsip dasar Responsibility, yaitu ; perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan, sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman pelaksanaan Responsibilty, yaitu : (a) Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-law), (b) Perusahaan harus melaksanakan tanggungjawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaannya secara memadai. 
Definisi CSR (Word Bank) The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve the quality of life, in ways that are both good for business and good for development. CSR (The World Business Council for Sustainable Development) Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community at large.”. CSR (Lingkar Studi CSR Indonesia) “Upaya sungguh sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan”. Dengan demikian CSR adalah suatu upaya dari entitas bisnis untuk meningkatkan image sebuah entitas bisnis kepada masyarakat dan mengurangi dampak negatif terhadap operasi entitas. Good image entitas bisnis akan meningkatkan nilai perusahaan melalui pengakuan positif oleh konsumen dan masyarakat.
Penelitian yang berkaitan dengan CSR pada perusahaan BUMN berkaitan dengan peningkatan kinerja perusahaan dilihat dari profitabilitas, resiko dan nilai pasar perusahaan (Fitri Ismiyanti dan Putu Anom Mahadwartha, 2006).  Profitabilitas (Return On Asset-ROA dan Return On Equity-ROE), Risk firm, Market value (price earning ratio-P/E ratio). Menyebutkan, bahwa CSR dan profitabilitas perusahaan mempunyai hubungan positif yang berarti bahwa pelaksanaan CSR secara singnifikan memberikan kontribusi positif terhadap profitabilitas perusahaan. CSR dan resiko perusahaan dilihat dari standar deviasi return mempunyai hubungan negative yang berarti CSR dan resiko berhubungan terbalik, CSR dan market value, dilihat harga saham dibandingkan laba per saham mempunyai hubungan positif, berarti bahwa CSR akan berdampak positif dengan harga pasar saham yang mencerminkan nilai perusahaan. Dengan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan CSR akan memberikan konstribusi positif dengan kinerja keuangan perusahaan, serta pelaksanaan CSR akan meningkatkan nilai perusahaan dilihat dari harga saham dan laba perusahaan (earning). Dengan uraian dan penelitian tersebut diatas, menjelaskan bahwa CSR menjadi topik menarik dalam pemberdayaan masyarakat (Community Development) dalam rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Jawa Timur.
Pemberdayaan masyarakat termasuk masyarakat Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah, namun juga menjadi tugas dan tanggungjawab dunia usaha, sebagaimana dijelaskan Undang-undang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah No. 20 Tahun 2008 pasal 7 (tujuh), bahwa Dunia Usaha (Corporation) berperan serta menumbuhkan iklim usaha kondusif, yaitu dalam aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang serta dukungan kelembagaan. Keterbatasan anggaran pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat penggangguran dan miskin perlu dilakukan secara bersama antara pemerintah dan dunia usaha untuk diarahkan menjadi wira usaha yang mandiri, sehingga yang bersangkutan dalam jangka panjang diharapkan menjadi usaha mikro, kecil dan menengah yang mandiri dan berdaya saing. Pembiayaan untuk program community development, dilakukan dengan mengoptimalkan dana CSR yang diprogramkan oleh masing-masing perusahaan, seperti halnya yang dilakukan oleh BUMN sejak beberapa tahun yang lalu, dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan sesuai dengan Undang-undang Nomor : 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007. Juga di perusahaan swasta nasional dan multinasional, yiatu : PT. HM. Sampoerna, PT. ASTRA dan lain-lain.

Perda CSR dan Implikasinya terhadap  iklim investasi di jawa Timur
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (TSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR) telah rampung menjadi Perda dan disahkan propinsi, artinya semua perusahaan berstatus Perseroan Terbatas (PT), BUMN, dan BUMD akan dikenai pungutan 2,5 persen dari total keuntungan tiap tahunnya.
Pungutan ini tidak berlaku bagi perusahaan yang berbentuk CV, UKM, dan home industri. Pungutan sebesar 2,5 persen ini bukan berarti pemprov ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi hal ini merupakan upaya responsive bagi perusahaan yang telah berdiri di Jatim, hasil pungutan dari perusahaan-perusahaan tidak akan dimasukkan ke dalam APBD, atau APBN. Tetapi, hasil pungutan ini akan dimasukkan ke kas daerah dibawah pimpinan Bappeprov.Di setiap kota nantinya perusahaan-perusahaan membuat forum perkumpulan pengusaha. Forum inilah yang nantinya akan memungut CSR 2,5 persen dari total keuntungan perusahaan tiap tahunnya. Kemudian hasil pungutan tersebut akan disetor ke kas.
Selain memungut, forum ini juga dapat mengelola pendapatan dari pungutan CSR dengan koordinasi dengan Bappeprov. Pengelolaan dana CSR ini dapat diwujudkan dengan pembangunan infrastruktur, atau untuk kesejahteraan warga.
forum style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">tersebut melakukan penilaian terhadap kualitas jalan disekitar perusahaannya rusak, dan perlu dilakukan perbaikan, pada saat yang sama APBD atau APBN tidak cukup untuk pembangunan infrastruktur disitulah alokasi dana CSR diperuntukkan. Begitu juga untuk anggaran kesehatan buruh, dapat diambilkan dari pungutan CSR, untuk menentukan nominal pungutan tersebut dapat dilihat dari nominal pajak perusahaan.
Selain itu juga CSR dapat juga berupa penghargaan dengan memberikan beasiswa kepada karyawan, atau warga yang tidak mampu membayar biaya pendidikan. Beasiswa ini diberikan bagi mereka yang berkemampuan akademis (berprestasi). Penyediaan subsidi berupa pembiayaan untuk proyek-proyek pengembangan masyarakat, penyelenggaran fasilitas umum, dan bantuan modal usaha skala kecil dan menengah melalui kredit bunga rendah.

Kesimpulan
1.      Ketegasan dalam mengimplentasikan produk-produk kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan CSR memang sangat diperlukan dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada Pelaku Usaha dan masyarakat selaku Obyek sekaligus subyek dari CSR.
2.      Pelaksanaan CSR dalam rangka mengimplementasikan kebijakan tersebut haruslah melalui proses komunikasi yang bersifat partisipatif dengan terlebih dulu melakukan pembacaan terhadap potensi kawasan dan dan problematika kawasan secara komprehensif untuk menyusun skala program CSR yang efektif dan terukur.
3.      Pemenuhan terhadap aspek keberlanjutan dan keterberdayaan dalam pengelolaan CSR haruslah menjadi prioritas disamping pembangunan infrastruktur penunjang.



Saran-saran
1.      Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya CSR dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
2.      Dibutuhkan konsistensi dan komitmen baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam melaksanakan CSR sebagai suatu kewajiban hukum

Daftar pustaka
Dr. Sukarmi, S.H.,M.H. Januari 2010, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal
Sutarto. SE. M.Si, 2010, Good Corporate Governance (gcg)
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di Jakarta , Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.

John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business
, dikutip dari Teguh Sri Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat
Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005, h.
19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar